Facebook data scandal
Kita hidup di era di mana kita sudah dibiasakan bahwa semua itu hanya bisa dibeli dengan uang. Padahal, ada hal lain yang kini jauh lebih berharga daripada uang (bukan, bukan moral, akhlak atau karakter!) yaitu DATA.
Data kitalah yang kini dapat dijual ke pihak-pihak yang menjual barang.
Medsos tidak meminta uang kita, "hanya" meminta data, dan kita semua memberinya dengan senang hati: tanggal lahir (umur) kita supaya teman-teman tidak lupa ulang tahun kita, kesukaan kita supaya teman-teman tahu kado apa yang cocok, dan kegiatan sehari-hari untuk aktualisasi diri.
Tapi bukan hanya data itu yang diketahui medsos. Medsos juga mengetahui di mana kita saat ini, apa saja yang Anda suka, siapa teman-teman Anda terdekat dan orientasi politik kita.
Caranya?
Sebuah instrumen sakti: Algoritme, yang definisinya cukup rumit sehingga saya suka sederhanakan sebagai "kecerdasan medsos mengolah data mentah menjadi masakan yang nikmat".
Melalui analisa data yang canggih, medsos memperoleh wawasan untuk menginformasikan tindakan dan keputusan kita di masa datang.
Hal inilah yang menjadi "skandal facebook" saat ini, di mana pendirinya, Mark Zuckerberg dipanggil para senator untuk mempertanggungjawabkan jutaan data yang "bocor" tersebut.
Data tersebut dijual kepada mereka yang membutuhkannya untuk memasarkan produknya sehingga promosinya bisa lebih terarah terhadap mereka yang memang berminat terhadap produk tersebut.
Masalahnya, produk itu bisa juga berupa agama, pembentukan opini publik atau pemilihan tokoh pemimpin.
Algoritme jugalah yang membuat kita hidup "sekandang dengan jenis yang sama".
Ini membuat kita menjadi "katak dalam tempurung", di mana kita hanya ditawarkan berita-berita yang kita sukai, dari teman-teman yang kita sukai karena algoritme telah memilih-milihnya untuk kita.
Ini membuat wawasan kita menjadi sempit karena kita tidak ditawarkan perbandingan / alternatif dari kenyataan yang ada, karena memang tidak kita sukai dan tidak akan meng-klik berita itu.
Bukan hanya orang-orang yang berbeda pendapat itu menghilang dari linimasa kita, kita pun bisa dengan leluasa mem-blok orang tersebut, sehingga linimasa kita "bersih".
Itu sebabnya pendukung Trump (di Amerika) dan Prabowo (di Indonesia) tidak bisa membaca opini dan berita dari pendukung Clinton dan Jokowi dan sebaliknya, sehingga masing-masing semakin yakin bahwa pilihannya (dan opininya) lah yang benar.
Cari ‘likes‘?
Aktualisasi diri dan meminta pengakuan adalah alasan utama kenapa kita membagi data kita ke medsos.
Ingatkah Anda, di masa lalu ketika kita punya buku harian yang sampai digembok supaya tidak dibaca orang?
Kini malah banyak yang "ngambek" ketika posting mereka tidak dibaca dan di-"like" sebanyak mungkin. Betapa bertolak-belakangnya dunia nyata dan dunia maya.
Kalau Anda ke sebuah tempat wisata kuliner, dan memberikan jempol kepada setiap orang yang sedang makan Anda akan dianggap gila, atau paling tidak stress berat. Tiap medsos sudah didesain untuk memaksimalkan potensi aktualisasi diri kita yang berbeda.
Twitter menjual perdebatan, yang di kaum kurang terpelajar menjadi makian dan hujatan.
Instagram menjual kecemburuan sosial.
Facebook menjual “Anda seluruhnya.”
Kalau dalam psikologi, bisa dibilang Twitter menjual Ide, Facebook menjual Ego, dan Instagram menjual Superego.